1. Pendahuluan
Islam adalah salah satu agama yang tumbuh dan berkembang diantara beberapa agama lain di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara Muslim terbesar di seluruh dunia dengan lebih dari 100 juta penduduknya beragama Islam. Meskipun 88% penduduknya beragama Islam, Indonesia bukanlah negara Islam. Agama-agama lain ikut serta dalam membentuk perundang-undangan nasional, bahkan sebagian dari padanya merupakan warisan produk colonial ketika menjajah Indonesia.
Muslim di Indonesia juga dikenal dengan sifatnya yang moderat dan toleran. Demikianlah seperti dinyatakan dalam sejarah bahwa sebelum Islam datang, Indonesia telah akrab dengan ajaran-ajaran animisme/dinamisme dan Hindu-Budha. Tetapi dengan sifat moderat dan tolerannya para da'i dalam memperkenalkan ajaran Islam, maka penduduk Indonesia lambat laun menganut ajaran ini. Oleh karenanya, umat Islam (Muslim) sudah terbiasa dengan sifat dan sikap itu.
Beralihnya penganut ajaran lama ke Islam dimulai ketika agama ini sudah mencapai bentuk definitifnya. Secara berangsur-angsur mereka menyerap banyak hal yang dikehendaki Islam. Demikianlah, maka Indonesia telah memperlihatkan daya tampung yang besar dan kemampuannya yang mengagumkan dalam hal menyesuaikan ide-ide yang baru diperoleh itu walaupun dengan dasar pemikiran mereka yang menggunakan pola lama.
Namun demikian, betapa juga mungkin sederhananya sumbangan teolog-teolog Indonesia kepada sastera keagamaan di zaman-zaman kemudian, sumbangan demikian bukanlah tidak ada. Sebab, disetiap abad di Indonesia kita dapati bukan saja sejumlah tertentu sarjana yang pengetahuan mereka sama dengan pengetahuan teolog-teolog di kawasan-kawasan dunia Islam lainnya tetapi juga diantara mereka terdapat tokoh-tokoh yang boleh diandalkan bahkan di pusat-pusat ilmiah Islam sekalipun….
Juga kedudukan Islam di dalam masyarakat Indonesia lagi-lagi kelihatan sederhana, setidaknya pada tatapan pertama. Bahkan kita hampir-hampir bisa mengatakan bahwa ciri menonjol Islam Indonesia ialah bahwa ia justeru tidak menonjol…
Namun begitu, Islam amat menguasai batin manusia Indonesia. Hasil inilah yang dihadapi Snouck Hurgronye ketika ia menulis bahwa kemenangan yang dicapai Islam di daerah-daerah Indonesia adalah setarap dengan kemenangan yang dicapai agama ini (secara keseluruhan) di abad-abad sebelumnya.
Catatan Drewer merupakan hal yang dirasa cukup penting terutama untuk memahami bagaimana gerakan-gerakan Islam muncul di Indonesia dalam rupa dan bentuk hingga mencapai tarap perkembangan terakhir. Sebab, pergulatan, tumbuh dan kembangnya gerakan Islam di Indonesia umumnya tidak terlepas dari konstalasi yang terjadi di pusat-pusat pergulatan Islam di kawasan dunia lain, terutama dengan berbagai peristiwa yang terjadi di tanah Haram (Makkah dan Madinah) serta pusat kekhalifahan pada masa itu.
Hal di atas merupakan latar belakang yang sangat menarik, terutama bila dibandingkan dengan situasi dan kondisi saat ini, dimana sepertinya tengah terjadi tarik-menarik kepentingan dari berbagai pihak untuk mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari kehadiran kekuatan kelompok Islam, baik pada skala global maupun lokal, baik dari sudut komersial ekonomi maupun social politik dan aspek-aspek kristalisasi social budaya juga aspek-aspek lainnya yang berhubungan dengan keutuhan dinamika suatu komunitas.
2. Kedatangan dan Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia
Pemikiran terhadap Islam di Indonesia tampaknya tidak terlepas dari pola tumbuh dan berkembangnya Islam di Nusantara, khususnya di Jawa, sebagaimana dikatakan oleh Slamet Effendi Yusuf dan kawan-kawan dalam ”Dinamika Kaum Santri”, perkembangan Islam di Nusantara digambarkan dengan pernyataan berikut. ”Realitas sejarah yang tak terbantah, Islam tersebar di Indonesia, Jawa khususnya, dengan cara yang ramah dan penuh pengertian. Babad maupun sejarah selalu menyebutkan tokoh-tokoh lompatan spiritual ini dengan sebutan ”wali” yang jumlahnya ada sembilan (Wali Songo)". Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Sebelum itu, keadaan masyarakat Islam di Indonesia masih setengah-setengah dalam menjalankan agamanya.
Pada bagian lain dinamika Islam di Indonesia yang dibangun tidak bisa terlepas dari unsur-unsur yang menjadi media transformasi keilmuan dan factor sosial budayanya. Media terpenting dalam proses transformasi tersebut di Jawa dikenal dengan sebutan Pesantren, di Sumatera dikenal surau dan meunasah yang sampai hari ini merupakan lembaga tertua dalam pergulatan dunia pendidikan ke-Islaman di Indonesia lengkap dengan segala ciri khasnya, seperti; adanya masjid, kamar-kamar penampungan santri serta kekhasan struktur system social budayanyanya.
Pada bagian awal tumbuh dan berkembangnya gerakan Islam nyaris tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari eksistensi lembaga pendidikan pesantren dan sejenisnya. Pesantren dianggap merupakan satu-satunya lembaga tradisional yang hingga hari ini mampu tampil dan berperan sebagai pusat penyebaran sekaligus pendalaman agama Islam bagi pemeluknya secara lurus.
Kendati harus diakui, realitas yang mengemukakan bahwa pada tahap awal pesantren pertamakali lebih memfokuskan diri pada upaya pemantapan iman dengan latihan-latihan kethariqatan daripada menjadikan dirinya sebagai pusat pendalaman Islam sebagai Ilmu, namun harus diakui dari pesantren inilah lahir generasi yang menjadi bagian dari lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman agama Islam yang relatip utuh dan juga lurus.
Fokus perhatian pesantren sebagaimana di atas sepertinya mudah untuk dimafhumi, sebab disebaliknya terdapat beberapa factor yang memaksa pesantren untuk bersikap demikian. Diantara sekian faktor yang mempengaruhi sikap pesantren tersebut adalah, Langkanya literature keislaman sebagai akibat dari penindasan politik pemerintah colonial Belanda yang menerapkan pembatasan-pembatasan yang memepersempit ruang gerak dan menutup kemungkinan terbukanya kontak antar umat Islam Jawa dengan umat Islam di negeri lain, khususnya dengan negeri-negeri di Timur tengah. Politik ini disatu pihak, dimaksudkan untuk menghambat tumbuhnya kelompok-kelompok Islam yang kuat keimanannya, di sisi lain adalah untuk menunjang penyebaran missi Zending.
Dari berbagai literature kemudian diketahui, bahwa baru pada pertengahan terakhir abab ke-19 meski masih sangat terbatas dapat terjadi kontak langsung antara umat Islam di Nusantara dengan saudara-saudaranya di negeri-negeri lain, khususnya di negeri-negeri Timur tengah. Kontak-kontak yang terjadi disamping pada bagian terbatas hanya untuk melaksanakan ibadah (ritual) haji, juga melalui sejumlah pemuda yang disamping melaksanakan ibadah haji merekapun kemudian untuk beberapa waktu tinggal dan belajar (bahkan ada yang menetap) di sana untuk lebih memperdalam agama Islam. Banayaknya literature keislaman di pusat studi keislaman Timur tengah, memungkinkan mereka yang belajar di sana mencapai tingkat pengetahuan yang lebih luas dan mampu membuka cakrawala pemikiran dan semangat yang lebih terbuka tentang Islam.
Dalam kasus Islam Indonesia, sejak keberhasilannya menempatkan sebagian dari generasi terbaiknya di pusat-pusat studi dunia Islam. Mendekati akhir paruh abad ke-18 hingga memasuki paruh pertama abad ke-19, terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan umat Islam sebagai komunitas tersendiri maupun sebagai bagian dari komunitas kebangsaan. Hal mana memaksa pemerintah colonial Belanda bekerja lebih keras untuk membendung arus kebangkitan umat Islam yang dijiwai oleh ruh Islam yang selalu mengusung dan bahkan sangat anti kolonialisme dan segala macam bentuk penjajahan.
3. Kebangkitan Islam di Indonesia
Hal lain yang menarik dari kebangkitan umat Islam adalah adanya pengaruh dan keterhubungan yang kuat dengan ketegangan yang memuncak antara kaum tradisionalis dan kaum modernis di Timur tengah. Kendati dianggap wajar, karena kebangkitan Islam di Indonesia itu sendiri banyak diilhami oleh intelektual-intelektual lulusan pusat-pusat studi Islam di Timur tengah. Namun hal ini juga sekaligus menjadi pembuktian bahwa sejak dari awal nafas hidup dinamika Islam di Indonesia berkaitan erat dengan apa yang terjadi secara global.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejak dari awal Islam dalam beragam coraknya adalah merupakan ideologi trans-nasional yang secara komprehensif dipaksa ataupun terpaksa harus berhadapan dengan ideologi trans- nasional lainnya, terutama dengan pranata nilai hasil produk nilai-nilai cultural Barat yang pada saat itu tengah mencapai kegemilangannya sebagai penguasa di negeri-negeri berpenduduk Muslim.
Beberapa ketegangan melahirkan kelompok-kelompok Islam yang kemudian mengkristal dalam eksklusifime organisasi, baik diawali dengan kepentingan ekonomi, politik maupun kepentingan-kepentingan lain yang bersifat social dan cultural.
Kebangkitan Islam di Indonesia ditandai dan dimulai dengan berdirinya beberapa organisasi Islam, seperti diantaranya yaitu: Syarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905 dengan pelopornya H.O.S Cokro Aminoto, dimana pada awalnya lahir dari sebuah upaya untuk lebih menyeimbangkan peta kekuatan ekonomi antara pribumi dengan non pribumi, SDI kemudian berkembang menjadi kekuatan politik dan berubah menjadi Syarekat Islam (SI). Disusul kemudian dengan lahirnya Muhammadiyah pada tahun 1912 dengan dipelopori oleh KH.Ahmad Dahlan di Jogjakarta, Persatuan Islam (Persis 1922) dipelopori oleh A. Hasan (Hasan Bandung) dan kemudian Nahdlatul Ulama (NU 1926) dipelopori oleh KH Abdul Wahab Hasbullah atas restu KH Hasyim Asy’ari. Al Irsyad yang dipelopori oleh Ahmad Soorkati dan lain-lain .
Fenomena di atas, dengan kajian kristis jelas menunjukkan adanya suatu kerja umat Islam yang lebih terstruktur dan terorganisir dengan sangat baik. Bagi pemerintah colonial, fenomena kebangkitan umat Islam ini jelas merupakan perlawanan yang sangat berat untuk dihadapi. Pada sudut lain, fenomena itu juga menunjukkan adanya kompartemen-kompartemen social atas kecenderungan yang berbeda terhadap pemahaman ajaran Islam sesuai yang dicerap oleh masing-masing pelopor organisasi dimaksud. Kelak ternyata hal tersebut terus terbawa hingga saat sekarang, ketika sudah sekian lama Indonesia merdeka dari bentuk-bentuk penjajahan kolonialisme tradisional.
SDI dengan dinamika serikat dagangnya sangat memungkinkan membentuk karakteristik pengikutnya yang memiliki watak dan jiwa yang terbuka dan sangat siap dengan berbagai perubahan dan tantangan. Apalagi kemudian dilandasi dengan ruh ideology Islam yang mapan, menjadikan SDI seperti kerangka bangun yang siap untuk bertumbukkan dengan kemapanan kebijakan pemerintah colonial pada segmen-segmen kehidupan, ideology, politik maupun social ekonomi.
Muhammadiyah yang menyusul kemudian dengan rumusan sebagai lembaga pendidikan, dakwah dan social seolah menjadi sebuah matarantai dari sebuah rangkai fondasi yang mengisi ruang yang secara normal tidak tergarap oleh SDI. KH Ahmad Dahlan, yang selama belajar di pusat studi Islam Timur tengah banyak mencerap ide-ide Muhammad Abduh dan murid-muridnya yang cenderung memiliki watak perlawanan intelektual terbuka atas pemasungan yang dilakukan kolonialisme, memberikan warna yang sangat jelas pada karakter dan garis juang Muhammadiyah yang genial dan keluwesan yang tegas. Menurut beberapa sumber hal ini kemudian menjadi model yang cukup berpengaruh pada nilai-nilai autentisitas (keaslian) dan modalitas (cara) pergerakan Islam moderen di Indonesia, sebagaimana kemudian menular pada semangat tumbuhnya organisasi pergerakan Islam sewatak lain seperti Al-Irsyad dan Persis.
Kebijakan politik isolasi Belanda untuk beberapa saat memang berhasil menahan laju pertumbuhan dan perkembangan Islam, namun pada fase lain justeru menjadi boomerang. Ketika kultur masyarakat pesisir dan gilda dagang dipaksa mundur kepedalaman yang cenderung puritan dan agraris, masyarakat santri malah berhasil membentuk dan membentangkan pemahaman Islam yang dianggap lebih lurus dan benar pada kedekatan jarak yang semakin menyatukan Islam dengan penganutnya. Pesantren banyak bermunculan dan berhasil menempatkan dirinya sebagai agen perubahan social yang cukup mencolok. Pada sisi inilah muncul Nahdlatul Ulama (NU), memberi pewarnaan yang semakin memeperkaya khazanah kebangkitan Islam Indonesia dari kaum santri. Sementara itu juga harus dipahami, kalau di balik kemunculan NU itu sendiri terdapat tokoh yang sangat berpengaruh atas nafas gerak dan dinamika intelektual NU. Beliau adalah KH Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatik yang sekali lagi merupakan alumni pusat studi Islam Timur tengah.
Karateristik yang berbeda dari pelopor-pelopor berdirinya organisasi pergerakan Islam di atas sepertinya sangat teruk mempengaruhi alam pemikiran setiap pengikutnya. Tampaknya seolah terjadi transformasi atau pewarisan pergulatan menyangkut doktrin Islam tertentu dari guru-guru mereka di Timur tengah kepada murid-muridnya. Hal ini kemudian mengundang pernyataan Zamakhsari Dhofier yang menyatakan :
“ Ada satu hal yang tidak bias dielakkan bila berbicara tentang gerakan Islam di Indonesia. Yaitu adanya telaah yang bermula dari pandangan dikotomis antara apa yang disebut dengan Islam Modernis dan Islam Tradisional. Begitu ketika orang membicarakan NU permasalahan timbul begitu saja, karena sejak awal abad 20, sejarah gerakan Islam di Indonesia memang tidak pernah mampu melepaskan diri dari kenyataan seperti itu.”
Tanpa menutup diri dari ketegangan yang cukup serius dari adanya ketegangan yang memuncak antara kaum tradisional, terdapat hal fundamental dalam kerucut persamaan kepentingan, yaitu ; hubungan yang kohesif antara keduanya ketika mengambil sikap dalam menghadapi penjajahan dari pihak asing (Belanda) atas bangsa dan Negara, baik dalam tataran politis maupun ideologis. Dari sudut ini menurut Binder dan Rahman dikatakan : “…bahwa orientasi nasionalis yang serius cenderung menemukan kembali Islam pada satu derajat tertentu atau lainnya sebagai satu bagian kehidupan nasional dan kebudayaan, memang menjadi kenyataan yang tak dapat dibantah di Indonesia.”
Konstelasi sebagaimana dikatakan oleh Binder dan Rahman, pada kasus Islam di Indonesia menjadi realitas tak tertolak plus bukti sejarah tak terbantah. Nasionalisme Indonesia secara umum justeru tumbuh dan berkembang secara sempurna bahkan lahir dari kandungan komunitas Islam yang menyadari betul akan arti sebuah kehidupan yang bebas dan merdeka dari segala bentuk penindasan.
Akhirnya, dengan tanpa maksud meremehkan prestasi-prestasi yang pernah dicapai oleh umat Islam Indonesia terdahulu, tampaknya kita harus jujur dengan realitas sejarah yang mencatat berbagai peristiwa disekitar kehidupan umat Islam Indonesia. Hal yang dimaksud adalah bahwa sepanjang sejarah Islam Indonesia belum pernah menunjukkan bukti prestasi gemilang yang berskala Internasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana yang telah dilakukan pada bidang politik oleh kerajaan Islam pada abad yang lalu namun terhenti tatkala Islam mengalami fase kegelapan yang dimulai pada abad 17 hingga pertengahan abad 20. Pada kurun waktu itu, secara umum memang bukan hanya Indonesia, bahkan kebanyakan negeri-negeri berpenduduk muslim jatuh ke tangan penjajahan Negara-negara Barat. Sejak itu terjadi potensi penduduk muslim, kecuali bertahan hidup, mengalami penderitaaan yang sangat parah, dieksploitasi dan jatuh ke dalam jurang kehinaaan yang hidupnya diabdikan untuk memenuhi kepentingan penjajah.
Baru pada awal abad 20, Islam di Indonesia mulai terlihat menggeliat, berusaha bangkit dari keterpurukan dan kelumpuhan sebagai jawaban atas panggilan hati nurani yang menghendaki pembebasan diri dari cengkeraman penjajahan. Grunebaum, bertitik tolak dari pandangan kebudayaan, menyebutkan empat macam prestasi Islam dalam mengubah kebudayaan leluhur Arab. Empat hal tersebut adalah :
1. Memperluas serta memperhalus daya rasa manusiawi.
2. Memperluas dunia intelektual serta cara-cara manusia menguasainya.
3. Menciptakan suatu organisasi politik yang dapat dibenarkan secara moral dan bersifat efektif sebagai yang belum pernah terdapat di tempat yang bersangkutan.
4. Menentukan garis dasar kehidupan baru.
4. Degradasi Citra Umat Islam di Indonesia
Kondisi bangkitnya usaha-usaha perbaikan Islam nampaknya harus terganjal sejak era reformasi digelar di Indonesia, seiring dengan pertumbuhan politik, umat Islam yang diwakili oleh organisasi Islam nampak tidak mau melakukan konsolidasi persatuan. Para pemimpin (elit) politik Islam berlomba-lomba mendirikan organisasi politik secara parsial sehingga kekuatan Islam menjadi lemah dan kekuatan nasionalis dan sekular menjadi lebih kuat. Padahal kekuatan Islam akan terbina untuk menaungi umat manusia sebagai rahmatan lil 'alamin manakala tetap dalam persatuan dan kejayaannya.
Belakangan ini, umat Islam di Indonesia, sebagaimana umat Islam di beberapa negara lain, terkekang oleh suspect/kecurigaan beberapa kalangan termasuk negara Barat. Dakwah dan pengajaran agama diawasai dengan ketat, bahkan di beberapa daerah wajib lapor, terkait isu terror yang akhir-akhir ini terjadi, yang mengatasnamakan gerakan jihad, jamaah Islamiyah, JIL, dll.
4. Penutup
Islam di Indonesia telah beberapa kali mengalami pasang naik dan pasang surut dalam dinamika kehidupan bermasyarakat di tanah air semenjak masa pendudukan kolonial hingga beberapa tahun terakhir ini. Meski demikinan diakui bahwa umat Islam di Indonesia sebenarnya sangat moderat dan toleran. Tinggal diperlukannya kembali pembenahan usaha-usaha perbaikan berbagai bidang keagamaan sehingga kemajuan Islam di Indonesia kembali mengalami masa kejayaan yang pada akhirnya umat-umat penganut agama lain merasa aman dibawah panji-panji Islam. Demikianlah makalah ini disusun sebagai inspirasi untuk menganalisis penyebab lemahnya pergerakan umat Islam di negeri tercinta ini dan mencari alternatif solusi usaha perbaikannya.
REFERENSI
Boisard, Marcel A .Rasjidi. 1980. Terjemahan L’ Humanisme De L’Islam (Edition Albin Michel, Paris, 1979). Jakarta: Bulan Bintang
Dhofier, Zamkhsari. 1982. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES
Karim, M Rusli. 1985. Dinamika Islam di Indonesi. Yogyakarta : Hanindita
Natsir, M. 1969. Islam dan Kristen di Indonesi. Bandung: Bulan Bintang
www.muhammadiyah.or.id/
www.nu.or.id/page.php
www.pesantren.net/sejarah/wali-index.shtml
www.seasite.niu.edu/indonesian/Islam/archives_on_jemaah_islamiyah.htm
www.seasite.niu.edu/indonesian/Islam/BBC%20NEWS%20%20Asia-Pacific%20%20Islam%20in%20Indonesia.htm
www.w3.org/TR/REC-html40
Yusuf, Slamet Effendi dkk. 1982. Dinamika Kaum Santri. Jakarta: Rajawali
الحمد لله رب العالمين
Kamis, 05 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar