Suatu Kajian Metode Tafsir Maudu'i
Oleh:
Nono Warsono
1. Pendahuluan
Islam memandang perlu dan bahkan teramat penting pada urusan pendidikan, terutama pendidikan Islam. Agama (Islam) itu adalah nasehat bagi peningkatan iman kepada Allah, kitab-Nya, dan Rasul-Nya, bagi pemimpin umat Islam dan seluruh kaum muslimin. Sebagaimana dialog yang terjadi antara Rasulullah SAW dan Abi Tamim bin Aus adDaari ra. Beliau bersabda:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قلنا لمن ؟ قال : ِللهِ وِلِرَسُوْلِهِ وَلِلأَئِمَّةِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ.
"Agama itu adalah Nasehat. Kami bertanya : untuk siapa ? Beliau menjawab : untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslim”.
Kita tahu bahwa Islam adalah bukan agama munfarid/individual, dimana kita khusyu' beribadah, mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan sebaik-baiknya, sementara orang-orang di sekeliling kita asyik dengan kemaksiatan dan ketidaktahuan terhadap agama yang dianutnya. Akan tetapi Islam adalah agama social/kolektif, dimana ketaatan kita dapat diukur dengan kepedulian kita terhadap orang lain. Bahkan Rasululullah SAW dalam sebuah hadits mengultimatum muslim yang tidak peduli dengan muslim lainnya dalam urusan agama.
مَنْ لَمْ يَهْتَمَّ بِأُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَبيْسَ مِنْهُمْ (الحديث)
"Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, maka ia bukanlah bagian dari mereka."
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ أصْبَحَ وَالدُّنْياَ أَكْبَرُ هَمُّهُ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِيْ شَيْءٍ وَمَنْ لَمْ يَتَّقِ اللهَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِيْ شَيْءٍ وَمَنْ لَمْ يَهْتَمَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً فَلَيْسَ مِنْهُمْ. (رواه الحاكم فى المستدرك )
"Barangsiapa yang di waktu pagi menaruh perhatian lebih besar terhadap dunia, maka bukanlah bagian dari Allah dalam suatu hal, barangsiapa yang tidak bertaqwa kepada Allah, maka bukanlah bagian dari Allah dalam suatu hal, dan barangsiapa yang tidak peduli/menaruh perhatian bagi kaum muslimin secara umum, maka bukanlah bagian dari mereka."
Maka kiranya kaum muslimin, baik anggota keluarga maupun masyarakat, perlu diajak dan diberi pendidikan Islam. Sebab senyatanya bahwa semua pendidikan hakekatnya adalah pendidikan Islam, semua pelajaran adalah hakekatnya pelajaran Islam. Tidak satupun pendidikan dan pelajaran—IPA, IPS, Matematika, Moral, Budi pekerti, Bahasa, Filsafat, dll—yang tidak bersentuhan dengan ajaran Islam. Bahkan Al Quran sendiri adalah kitab peringatan bagi seluruh alam (jin dan manusia).
تَبَارَكَ الَّذِيْ نَزَّلَ اْلفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُوْنَ لِلْعَالَمِيْنَ نَذِيْرًا.
"Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (maksudnya jin dan manusia)" (QS [25] Al Furqan:1).
إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِيْنَ.
"Al Quran ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam." (QS [38] Shad : 87)
Hanya saja kita tidak mungkin menjadikan jin sebagai objek pendidikan Islam. Dengan kata lain objek pendidikan itu sangat luas mencakup semua manusia, baik keluarga ataupun masyarakat, muslim ataupun non-muslim, laki-laki ataupun perempuan, kecuali jin. Itulah yang dalam Al Quran disebut "peringatan bagi seluruh alam" atau "peringatan bagi alam semesta". Alam selain manusia dan jin tidak dapat diberi peringatan, lebih khusus lagi tidak dapat di beri pendidikan. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang kongkrit yang paling sempurna akal dan penalarannya, sehingga tidak mungkin makhluk lain yang tidak memiliki penalaran yang baik, akan menerima Islamic teaching (ajaran Islam), yang harus menjalankan syariat dan menunaikan amanat Allah sebagai khalifah fil ardl.
Dasar pemikiran bahwa manusia sanggup menerima pelajaran dan pendidikan adalah anggapan bahwa : (1) secara fitrah semua manusia beragama tauhid sehingga pendidikan Islam akan bersenyawa dengan fitrahnya, (2) manusia adalah secara dhohir memiliki bentuk yang paling sempurna, begitu juga rasio/pemikiran, akal dan daya nalar yang tidak dimiliki makhluk lainnya, (3) manusia adalah makhluk yang dihiasi dengan nafsu, sehingga motivasi yang benar dan baik akan membimbingnya mampu menggapai tujuan hidupnya.
Manusia yang akan menjadi objek pendidikan, dalam Al Quran digolongkan menjadi dua, yakni : (1) golongan positif (Muslimin, mu'minin, muttaqin), dan (2) golongan negatif (Munafiqin, Fasiqin, Murtadin, Kafirin, dan bahkan Musyrikin). Tujuan objek yang pertama adalah untuk peningkatan posisinya dan derajatnya di sisi Allah dengan tidak melakukan maksiat/pendurhakaan. Sedangkan tujuan objek kedua adalah sebagai peringatan, penyadaran, dan pertaubatan kepada Allah karena mereka nyata-nyata bersikap acuh tak acuh terhadap seruan Allah dan menjadi kaum pendosa.
2. Peserta Didik dan Etika Pembelajaran
Pengajaran dan pendidikan umum maupun urusan agama perlu memperhatikan etika penyampaian. Perlu diketahui bahwa manusia, ketika dilibatkan sebagai peserta didik atau objek dalam hal pendidikan, mempunyai penilaian bathin tersendiri yang terkadang sulit diterka sebelumnya oleh para pengajar dan pendidik. Sehingga kearifan, kebijaksanaan, dan kecerdasan dalam memilah dan memilih metode sangat dibutuhkan.
Allah SWT, dalam QS An Nahl : 125, menjelaskan tentang etika berda'wah :
ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَاْلمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُج إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ صلى وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ.
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS [16] An Nahl: 125)
Maksudnya adalah bahwa kata "ud'u" yang berarti serulah, dalam konteks pendidikan berarti ajarilah atau didiklah manusia—sebagai peserta didiknya—dengan menggunakan cara-cara/metode yang sangat memperhatikan etika tabligh. Menurut dhohir ayat di atas ialah dengan mempergunakan dua cara etika, yakni : (1) hikmah, yaitu perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil, dan (2) pelajaran yang baik, yang sangat berguna dalam hidup dan kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat.
Imam Jalalain (Jalaludin Muhammad bin Ahmad alMahla dan Jalaludin Abdurrahman bin Abi Bakr asSuyuthi) menafsirkan ayat di atas dengan risalah sebagai berikut:
(ادع) الناس يا محمد (إلى سبيل ربك) دينه (بالحكمة) بالقرآن (والموعظة الحسنة) مواعظه أو القول الرقيق (وجادلهم بالتي) أي المجادلة التي (هي أحسن) الدعاء إلى الله بآياته والدعاء إلى حُجَجِه (إن ربك هو أعلم) أي عالم (بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين) فيجازيهم...
"Serulah/ajarilah manusia, wahai Muhammad, menuju jalan Tuhannu, yakni agamaNya dengan hikmah, yakni dengan Al Quran, dan dengan pelajaran yang baik, yaitu pelajarannya atau ucapan yang halus. Dan bantahlah mereka dengan bantahan yang lebih baik, yakni seruan atau permohonan kepada Allah dengan ayat-ayatNya dan seruan kepada hujjah/buktinya. Sesungguhnya Rob-mu Maha Mengetahui terhadap orang-orang yang sesat dari jalanNya, dan mengetahui terhadap orang-orang yang beroleh petunjuk, dan membalasnya…"
Pada ayat lain, Allah jelaskan etika pembelajaran itu dengan firmanNya:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ [آل عمران : 159[
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS [3] Ali Imran : 159).
Ayat ini memberi pengertian pendidikan seyogyanya dilakukan dengan cara yang lemah lembut, tidak harus tepat seperti yang kita (pendidik) mau. Ini karena latar belakang peserta didik yang berbeda, yang heterogen, baik daya kecerdasannya, hereditasnya, maupun stimulant motivasinya. Semua ini sangat mempengaruhi pribadinya. Oleh karena itu dibutuhkan sikap lemah lembut, penuh dedikasi dan kharismatik sebagai pendidik. Kalau tidak, para peserta didik akan lari meninggalkan bangku pendidikan. Yang pada akhirnya kita (para pendidik) akan kehilangan tujuannya, dan sasaran tidak akan tercapai. Dengan kata lain da'wah menjadi gagal.
Karena seorang pendidik adalah agen pembelajaran, berada di garis depan, berhadapan langsung dengan peserta didik, maka di samping suri tauladannya dengan sikap, ia juga harus memperhatikan gaya bicara dalam proses pembelajaran. Etika berbicara yang baik atau buruk akan didengar langsung oleh peserta didik.
وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُوْلُوْا الَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُج إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْج إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِيْنًا.
"Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia." (QS [17] Al Isra: 53)
Tentu saja cara bicara yang mengindahkan norma (baik/buruk) akan berimbas kepada etika para peserta didiknya. Keteladanan para pengajar dan pendidik akan dijadikan cermin kehidupan mereka. Singkatnya, apa saja etika yang diterapkan para pendidik, baik prilaku, sikap, dan ucapan, sedikit atau banyak akan ditiru dan dijadikan pola dalam hidup mereka kelak. Oleh karena itu, etika akhlak yang baik dari para guru/pendidik mutlak dibutuhkan. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang lebih baik akhlaknya?
إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنُكُمْ أَخْلاَقًا.
"Sesungguhnya yang lebih baik diantara kamu adalah yang lebih baik akhlaknya". Demikian sabda Rasulullah SAW dalam kitab Mushannif Ibnu Abi Syaibah yang diterima dari Abdullah bin Amru.
Sebenarnya bukanlah pendidikan Islam jika tidak menggunakan etika, karena Islam sangat mengedepankan etika dan akhlak. Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan akhlah manusia. Itulah, secara historis, awal perlunya diadakan pendidikan Islam. Sehingga diharapkan lahir generasi yang tahu akan akhlak, baik akhlak terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, yang lebih tua, bahkan kepada makhluak Allah lainnya.
3. Klasifikasi Peserta Didik
Peserta didik yang merupakan objek pendidikan dan perlu menerima ajaran dan didikan Islam, sebagai mana disebutkan di atas, adalah mencakup semua orang di lapisan masyarakat, mulai dari lingkungan terdekat (keluarga) sampai ke yang terjauh (masyarakat luas), baik dilaksanakan secara formal (di sekolah/madrasah), maupun informal (di lingkungan rumah tangga), bahkan non-formal (kursus dan LPK).
a. Keluarga
Keluarga merupakan wilayah terkecil dimana anggotanya menjadi sasaran pendidikan yang sangat efektif dan efisien. Pendidikan agama ditanamkan pada semua anggota keluarga. Dalam hal ini orang tua diharapkan menjadi pendidik yang baik bagi anak-anaknya. Ayah—sebagai kepala keluarga—menjadi manajer utama dalam pendidikan bagi ibu dan anaknya. Harapan utama dari semua itu adalah menjadi keluarga yang bahagia dan selamat dunia akhirat. Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا. وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ. عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ.
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS At Tahrim: 6)
Ayat di atas termasuk ayat Madaniyyah (diturunkan di Madinah). Situasinya tidak dalam keadaan perang dengan kaum kafir Quraisy, sehingga ayat-ayat yang serumpun dengan ayat di atas sangat tepat terkait dengan keluarga.
Mujahid berkata mengenai ayat di atas :
قوا أنفسكم أوصوا أهليكم بتقوى الله وأدبوهم
"Jagalah dirimu dan berilah wasiat-wasiat taqwa kepada ahlimu (keluargamu) dan didiklah mereka". Abdur Rozaq, sebagaimana diterima dari Mu'ammar dari Qatadah, berkata:
مروهم بطاعة الله وانهوهم عن معصيته
"(Menjaga keluarga itu adalah dengan cara) suruhlah mereka agar ta'at kepada Allah dan cegahlah mereka dari berbuat maksiat kepadaNya". Hal senada disampaikan oleh Sa'id bin Manshur dari Al Hasan. Sementara Al Hakim meriwayatkan dari jalan Rabi'i dari Ali tentang ayat "Quu anfusakum wa ahliikum naaron", dengan berkata:
علِّموا أهليكم خيرا (ajarilah keluargamu dengan pengajaran yang baik-baik)
Misalnya, memberi contoh, mengajari dan menyuruh anggota keluarga untuk mengerjakan dan mendirikan sholat dari pada orang tua sibuk ibadah dengan khusyu' sementara keluarga tidak pernah diperhatikan. Seperti yang disampaikan Imam Malik. Beliau asyik beribadah bersama Rasulullah SAW. Ketika Rasul mengetahui bahwa imam Malik mempunyai keluarga, maka Rasul bersabda:
ارْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ، فَأَقِيْمُوْا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْهُمْ وَمُرُوْهُمْ).
"Kembalilah kepada keluargamu. Dirikanlah sholat bersama mereka. Ajari dan perintahlah mereka untuk mendirikannya" (HR Bukhari). Dalam hal orang tua mengalami keterbatasan, baik kemampuan dan pengetahuan pendidikan maupun kesempatan/waktunya, mereka tetap berkewajiban melakukan dan memberikan pendidikan itu dengan menitipkannya ke lembaga-lembaga pendidikan.
Jika hal ini tidak dilakukan oleh orang tua, dihawatirkan akan menjadi penyebab masuk ke neraka, karena keluarga ini berubah menjadi pembangkang dan pendurhaka kepada Allah SWT.
Berikut ini adalah wasiat-wasiat pendidikan yang diberikan orang tua kepada anaknya sebagaimana dikisahkan dalam Al Quran:
1. Wasiat agar memeluk agama Islam. (QS Al Baqarah: 132)
وَوَصَّى بِهَا إبْرَاهِيْمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُ يَابَنِيَّ إنَّ اللهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلاَتَمُوْتُنَّ إلاَّ وَأنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
"Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): 'Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam."
2. Wasiat konfirmasi Tuhan yang disembah. (QS Al Baqarah: 133)
أمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُ إذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ بَعْدِيْ قَالُوْا نَعْبُدُ إلَهَكَ وَإلَهَ ءَابَائِكَ إبْرَاهِيْمَ وَإسْمَاعِيْلَ وَإسْحَاقَ إلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُوْن.
"Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".
3. Wasiat supaya tidak mensekutukan Allah. (QS Luqman: 13)
وَإذْ قَالَ لُقْمَانُ ِلابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَتُشْرِكْ بِاللهِ إنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
"Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Dan wasiat-wasiat yang lain yang baik yang bersifat mendidik. Ingat sebaik-baik wasiat adalah wasiat taqwa.
Bagian dari keluarga adalah kerabat. Dalam kamus Bahasa Arab-Indonesia Al Munnawir, kerabat (alqoroobatu) adalah sanak keluarga. Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia berarti dekat (pertalian keluarga), mempunyai hubungan keluarga. Ini pun objek pendidikan yang mudah dijumpai dan dihadapi karena hubungannya yang dekat dalam keluarga. Sebagai peserta didik, mereka tidak akan banyak menentang. Allah berfirman dalam (QS [26] Al Syu'ara: 214):
وَأنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ اْلأَقْرَبِيْنَ.
"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat"
Dari penjelasan di atas, menurut DR. H.Atabik Luthfi, MA, pengertian keluarga terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
a. ahli – keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Golongan ini yang pendidikannya menjadi tanggung jawab penuh dan akan diminta pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Ini pula yang harus dijaga dari masuk neraka.
b. usrah/'ailah – keluarga inti dan orang-orang yang memiliki hubungan pertalian darah yang lebih luas, misalnya kakek/nenek, cucu, paman dan bibi. Golongan ini tidak dituntut untuk dijaga dari api neraka. Nemun demikian pendidikannya menjadi bagian keluarga kita, meskipun tidak menjadi tanggung jawab penuh.
c. 'asyirah – keluarga besar yang terdiri dari ahli, usrah dan orang-orang yang dekat dengan hubungan keluarga, misalnya mertua, menantu, ipar, anak angkat, anak tiri, besan, buyut, dan bahkan pembantu.
b. Masyarakat
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ (الحديث)
"Sebaik-baik diantara kamu adalah yang belajar Al Quran dan kemudian mengajarkannya". Makna implicit dari hadits tersebut adalah bahwa kebaikan terbesar tidak hanya terdapat karena orang menuntut ilmu, tetapi juga mengajarkan ilmu yang diperoleh itu kepada masyarakat luas/umat. Ini dapat kita pahami bahwa peserta didik dalam jumlah banyak, yakni masyarakat, yang menerima didikan ilmu, akan pula mengajarkannya kepada masyarakat lain secara luas, yang pada akhirnya kebaikan dan taqwa, rasa takut terhadap perbuatan dosa dan siksa akan muncul dimana-mana. Sehingga pantas kalau Allah mensetarakan orang yang mau menuntut ilmu dengan tujuan hendak menyampaikannya kepada orang lain sejajar dengan orang yang ber-jihad fi sabilillah.
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَافَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ إذَا رَجَعُوْا إلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ.
"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (QS [9] Al Taubah: 122).
Karena ayat (122) pada surat Al taubah ini merujuk pada kata-kata "liyundziruu qaumahum”, maka ia dijadikan dasar acuan bagi pendidikan formal, termasuk di Indonesia.
Demikian pula Rasulullah SAW memberi anjuran kepada utusan Abdul Qais, yaitu Malik bin Huwairits dkk, untuk menjaga imannya dan ilmu pengetahuan agar bermanfaat bagi orang lain. Beliau bersabda:
ارْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَعَلِّمُوْا هُمْ.
"Kembalilah kepada kaum kalian dan ajarilah mereka".
4. Sifat Peserta Didik Menurut Al Quran
Peserta didik dalam menerima pengajaran dan pendidikan Islam baik dari orang tua, kerabat tua, guru/ustadz maupun kiyainya berbeda-beda sifat sikapnya. Hal ini hamper sama dengan sifat dasar manusia pada umumnya. Dalam Al Quran disebut tidak kurang dari 5 (lima) kali/ayat, yakni:
a. QS [17] Al Isra :11, bahwa manusia bersifat tergesa-gesa
وَكَانَ اْلإِنْسَانُ عَجُوْلاً.
"dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa."
b. QS [70] Al Ma'arij :20, bersifat keluh kesah.
إنَّ اْلإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا.
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir."
Hampir sebahagian dari peserta didik memiliki sifat-sifat ini. Kurangnya persiapan dalam belajar menjadi fenomena yang patut disayangkan. Mereka semestinya memiliki kesabaran dalam menekuni ajaran dan didikan, yang memang memerlukan waktu yang cukup untuk menjadi pribadi yang cakap dan diharapkan. Oleh karena itu para pengajar dan pendidik perlu memikirkan untuk memilih waktu yang tepat bagi para peserta didik untuk bisa berkonsentrasi dengan baik. Sebab kalau tidak mereka akan merasa bosan, mengeluh dan akhirnya malas. Demikian pula halnya Rasulullah SAW dalam memberikan nasehat, seperti yang diceritakan oleh Ibnu Mas'ud:
كان النبيّ صلعم يَتَخَوَّلُنا بالموْعِظَةِ فِي اْلأيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَّةِ عَلَينا
"Adalah Nabi SAW selalu memilih waktu yang tepat bagi kami untuk memberikan nasihat, karena beliau takut kami akan merasa bosan."
c. QS [18] Al Kahfi :54, bahwa manusia suka membantah
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِيْ هَذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍج وَكَانَ اْلإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلاً.
"Dan Sesungguhnya kami Telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini bermacam-macam perumpamaan. dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah."
Tidak sedikit peserta didik yang memiliki sifat ini. Sekiranya para guru/pendidik tidak bersabar dalam hal ini, pastilah mereka (peserta didik) termasuk orang yang mengalami kerugian yang besar. Para guru/ustadz perlu mencari terobosan metode pemberian pelajaran/pendidikan/nasehat yang arif dan cerdas, sedemikian hingga peserta didik merasa dihormati dan tidak disepelekan meski mereka suka membantah segala yang disampaikan. Sehingga sifat mereka yang semula oleh Allah disebut "aktsara syai-in jadalan", diharapkan mereka akan bersifat " aktsara syai-in jumaalan" yakni segala sifat yang dimilikinya adalah bagus.
d. QS [90] Al Balad: 4, bersifat susah payah
لَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍ.
"Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia berada dalam susah payah."
Karena peserta didik memiliki sifat susah payah dalam memahami nasehat, maka para guru/pendidik hendaknya mempermudah dengan penjelasan-penjelasan yang diperlukan. "berilah kemudahan dan jangan kalian persulit, berilah berita gembira dan jangan kalian menakut-nakuti", demikian sabda Nabi yang disampaikan oleh Anas bin malik.
يَسِّّرُوْا وَلاَ تُعَسِّّرُوْا وَبَشِّّّرُوْا وَلاَ تُنَفِّّرُوْا.
e. QS [4] An Nisa: 28, bersifat lemah
يُرِيْدُ اللهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ ج وَخُلِقَ اْلإِنْسَانُ ضَعِيْفًا.
"Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah."
Dalam konteks pendidikan, pun para peserta didik ada yang bersifat lemah, terutama dalam hal pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi. Namun demikian dengan menjadikan mereka sebagai sasaran pendidikan, dengan metoda yang dipilih sesuai dengan karakteristik peserta didik itu, yakni student centered, mereka akan mampu mengubah dirinya menjadi kuat dalam ilmu pengetahuan dan akhlak budi pekerti. "Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga kaum itu mengubah nasib yang ada pada dirinya" (QS Ar Ra'du: 11).
Ayat-ayat di atas hanya mengungkapkan sifat-sifat negatif dari peserta didik karena memang Al Quran lebih banyak mengukapkan sifat-sifat negative dari pada sifat-sifat positifnya. Hal ini dimaksudkan agar manusia menyadari akan kelemahannya dan berupaya untuk memperbaikinya .
Dengan memperhatikan sifat-sifat peserta didik di atas, begitu juga sifat-sifat yang lain yang terkait, baik keluarga dekat maupun masyarakat luas, maka diperlukan kesabaran pendidik, antisipasi dini, motivasi tepat sasaran, dan metode cerdas dalam kegiatan. Peserta didik yang tidak tersentuh oleh upaya-upaya positif guru/pendidik dalam niatan perbaikan pendidikan Islam, akan berakibat pada gagalnya hakekat da'wah Islamiyah itu sendiri pada jenjang pendidikan.
5. Penutup
Tabligh (penyampaian) pendidikan, baik ilmu pengetahuan maupun akhlak, baik pendidikan umum maupun Islami, merupakan tanggung jawab semua pihak, dalam skup yang terkecil (keluarga) ia adalah tanggung jawab orang tua. Sementara pada skup yang luas, tanggung jawab ada pada orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Orang tua terlibat dalam tanggung jawab pendidikan dalam skup yang lebih luas karena sesunggunhnya ia merupakan unsur dalam susunan keluarga-keluarga yang ada di masyarakat.
Keluarga dan masyarakat perlu dididik dengan pendidikan agama agar tercipta kehidupan "baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur" (negeri yang baik yang penuh dengan ampunan Tuhan, yakni Tuhan tidak hendak mengadzab kaum secara kaafah dan merata), sebab kebenaran dari Allah yang sampai kepada kita harus pula diteruskan sampai kepada mereka agar tidak lantas menjadi kafir kepada Allah karenanya. Allah berfirman: "Wahai manusia, Sesungguhnya Telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, Maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun). Karena Sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana". (QS [4] An Nisa: 170)
Dalam keluarga, anak adalah amanat yang harus dijada dipelihara dan dididik, agar kelak tidak menjadi fitnah (cobaan). Tinggal apakah kita mampu menghadapinya atau tidak.
وَاعْلَمُوْا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيْمٌ.
"Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar." (QS [8] Al Anfal : 28). Ayat lain yang senada dengan itu terdapat dalam (QS [64] Al Taghabun: 15).
Akhirnya, mudah-mudahan makalah ini menjadi inspirasi bagi yang membacanya untuk mengenal lebih jauh tentang apa, siapa, dan bagaimana memperlakukan objek pendidikan, yakni para peserta didik, agar pendidikan Islam kembali bergairah dalam menyongsong hidup yang lebih baik.
000
Daftar Bacaan
Amiruddin. 2003. Terjemah Fathul Baari-Syarah Shahih Bukhari Ibnu Hajar. Jakarta: Pustaka Azzam.
Depag RI. 2000.Al Quran dan Terjemahannya, Edisi Baru. Surabaya: CV Karya Utama
Ghazi, Samer. 2004. Quran 3.0--quran.vb-pro.net
Hadhiri, Choiruddin. 1995. Klasifikasi Kandungan Al Quran. Jakarta: Gema Insani Press
Sunarto, Achmad. 1999. Terjemah Riyadhus Shalihin An-Nawawi Jilid 1. Jakarta: Pustaka Amani.
----. 2002-2003. Mawsoaat Hadeeth-- IslamSpirit.com:Ada99
Selasa, 08 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar